Kenapa Mesti disebut Kampung?
Agustus 09, 2019
Seperti judulnya, tulisan ini akan
membicarakan hal yang sederhana namun menyimpan kekompleksan yang begitu edan.
Yap, KAMPUNG.
Menurut saya, kata tersebut memang
sederhana bahkan terdengar remeh namun pada kenyataannya tidak seenteng itu.
Sebuah pemukiman yang dekat dengan panggilan kumuh; warga dengan status
pendidikan yang tidak terlalu tinggi, paling-paling hanya lulusan SMA; belum
lagi, keterbelakangan infrastruktur seperti MCK bersama; ditambah lagi, status
ekonomi warga kampung yang jauh dari kata 'utang'. Mereka biasanya
bekerja sebagai kuli bangunan, satpam, driver ojek online,
kurir JNE, penjual nasi uduk, sales toko baju hingga tukang
parkir Indomaret.
Sebetulnya, saya ingin menulis kepelikan
sebuah kampung lebih banyak lagi. Tapi, niat saya tersebut diurungkan saja
lantaran ini merupakan awalan yang sangat prematur untuk memulai tulisan dengan
hal pelik.
Saya enggan mengawali tulisan dengan
rentetan, puluhan bahkan ratusan keruwetan kampung kota. Bukan
karena malas atau tidak ada ide namun saya tidak ingin membuat Anda pusing
lebih awal.
Lantas, apa faedahnya membeberkan masalah per-kampungan-an di kalimat sebelumnya? Cuplikan masalah di atas hanya untuk men-trigger kawan-kawan. Have
you?
So, by this word(s)...
Saya
hanya ingin berdiskusi sekaligus menuangkan keresahan saya terhadap pelabelan
sebuah kampung. Bukan hanya kampung biasa, tapi KAMPUNG KOTA.
Kenapa
mesti disebut sebagai KAMPUNG? Kenapa tidak disebut desa atau
dusun saja? Apa sejatinya identitas kampung kota?
Baik, mari berdiskusi...
Dari sumber yang saya baca bahwa kampung
kota memiliki berbagai ciri. Entahlah, saya juga tidak tahu bagaimana
menyebutnya, ciri-ciri, karakteristik atau definisi.
Pada intinya, saya membaca berbagai
proses ekstraksi terkait definisi kampung kota. Dan menurut saya, kampung kota
merupakan pemukiman informal yang memiliki simbolis negatif terhadap
kapitalisme. Si kapitalis inilah yang mengontrol citra perkotaan untuk
tujuan branding dan ketertiban yang mereka pandang legal.
Mengapa simbolis negatif? Karena kampung kota merupakan kawasan kumuh.
Kekumuhan inilah yang merusak citra perkotaan, mengganggu kapitalisme
untuk branding kawasan real estate sehingga perlu
adanya ketertiban. Salah satunya dengan cara pembinasaan kawasan kumuh
(penggusuran kampung kota).
Sadis? Memang... dan hal tersebut
merupakan fakta, kawan-kawan.
[CIRI-CIRI]
In addition, there are many fact that we can find about kampung
kota. I find them, too. And here they are:1) Kampung kota biasanya dihuni oleh orang-orang dengan penghasilan rendah.
2) Satu-satunya jenis pemukiman yang ikhlas menampung manusia dengan pendidikan dan ekonomi paling rendah.
4) Komunitas yang terbentuk dan terkenal karena warganya-memiliki teritori fisik, hubungan sosial dan ekonomi yang sangat erat.
5) Kelompok perumahan yang tidak formal berdasarkan ketentuan kota.
6) Wadah yang terjangkau dan paling aman untuk kaum migran.
7) Dipengaruhi oleh aktivitas perdagangan.
Sedangkan bagi pemerintah, kampung kota merupakan kelompok rumah yang perlu dipertahankan/dilestarikan karena sejarah, ciri khas dan tentunya karena kampung merupakan bagian dari kota.
[AKIBAT]
Dari kalimat tersebut dapat diasumsikan bahwa jika sebuah kampung tidak memiliki ciri khas atau sejarah maka ia tidak perlu dipertahankan bahkan lebih parahnya lagi, mengalami penggusuran. Hal tersebut mengakibatkan kampung kota rentan terhadap semua situasi baik politik, pembangunan maupun bencana. Entah yang disengaja atau tidak.
Selain itu, ciri di atas bercerita tentang hal yang tidak menyenangkan. It's all about negative side. Mulai dari SDM yang tidak berpendidikan, lingkungan kumuh, keterbatasan SDA hingga dianaktirikan oleh pemerintah.
Akibatnya kampung kota sulit menjangkau dan dijangkau terhadap daerah sekitarnya. Belum lagi, kampung kota harus menghadapi kodrati alam yaitu ketidaksesuaian lokasi. Hal itu menyebabkan ia berpeluang mengalami degradasi.
[KENDALA]
Berdiskusi mengenai kendala kampung kota memang tidak ada akhirnya. Seperti sinetron, akan selalu ada episode baru. Tapi, apabila ribuan episode tersebut digolongkan menjadi beberapa kelompok mungkin akan mudah.
Kendala kampung kota: siapa dan apa tantangan bagi dirinya?
1) Keterbatasan Jangkauan
Ada berbagai faktor yang menyebabkan kampung kota sulit menjangkau dan dijangkau terhadap sekitarnya. Dua diantaranya ialah manusia dan letaknya.
Beragam informasi dan program pemerintah seharusnya tersalurkan dan terlaksana oleh kampung kota. Namun kenyataannya tidak, kalau pun tersampaikan tapi tidak komprehensif.
Salah satu biang keladinya ialah letak kampung kota yang termarginalisasikan baik karena kesengajaan atau tidak. Hal tersebut yang mengakibatkan manusia dan alamnya memiliki keterbatasan terhadap akses dunia luar atau informasi lainnya.
Keterbatasan ini juga disebabkan oleh ketidakmampuan dan ketidaktahuan manusia kampung kota untuk berperan lebih kepada dunia luar-agar dapat menjangkau luar batas dirinya.
Ringkasnya, keterbatasan jangkauan terbagi menjadi:
a) keterbatasan akses dan program pemerintah
b) keterbatasan akses partisipasi
c) keterbatasan akes informasi lainnya
d) keterbatasan sumber daya
2) Kerentanan
Poin kedua ini masih berkaitan dengan sebelumnya bahwa keterbatasan jangkauan baik dari dalam dan luar tubuh kampung kota juga melahirkan kerentanan. Dimulai dari keterbatasan akses partisipasi, sumber daya hingga akses pemerintah mengakibatkan kerentanan. Kampung kota rentan terhadap bencana, degradasi lingkungan, dan keterbelakangan infrastruktur baik secara parsial maupun menyeluruh.
Tidak hanya terkait fisik dan lingkungan, kerentanan juga menjajah masyarakat kampung kota. Hal tersebutlah yang kerap kali melahirkan kondisi kumuh atau kurang layak-yang membuat mereka berpeluang besar untuk digusur.
So, in this discussion there are four points. They are: kerentanan SDM, SDA, lingkungan dan infrastruktur
3) Ketidakpastian bermukim
disebabkan karena ketidakjelasan status kepemilikan lahan. Namun, menurut saya permasalahan tersebut hampir selesai dikarenakan bersumber dari salah satu media berita nasional-mengatakan bahwa Seluruh Tanah di DKI akan Bersertifikat Tahun Ini. Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) Sofyan Djalil mengatakan pihaknya akan menyelesaikan program sertifikat tanah di DKI Jakarta hingga akhir 2019. Itu artinya, sampai akhir tahun ini seluruh tanah di Ibu Kota Indonesia ini sudah tersertifikasi.
Well. Finally, there is a good news in this writing.
Selanjutnya, ketidakpastian bermukim juga disebabkan oleh letak kampung kota-berada di lahan yang belum diakui bahkan 'haram'. Selain itu, tingkat kekumuhan kampung kota juga memengaruhi ketidakpastian bermukim. Mengapa? Karena pemukiman kumuh rawan dengan penggusuran.
[ESENSI]
Rasanya tidak adil jika menulis kampung kota hanya dari sisi kepahitannya saja. Oleh karena itu, saya mencoba untuk mendefinisikan kampung kota dari kesejukannya.
Ada banyak faktor yang membedakan kampung kota dengan kawasan pemukiman lainnya. Salah satunya ialah esensi dari kampung kota itu sendiri-rentang keberagaman, modal sosial dan startegi adaptasi.
1. RENTANG KEBERAGAMAN
Hal yang membedakan kampung kota dengan dusun atau desa ialah rentang keberagaman. Tidak seperti desa atau dusun yang dihuni oleh satu etnis tertentu saja, kampung kota bisa dihuni oleh lebih dari satu enis seperti di lingkungan tetangga saya. Mulai dari suku Jawa, Medan, Manado, Makassar, Padang, Gorontalo, Sunda, Arab, Cina dan tentunya Betawi bahkan ada rakyat Indonesia Timur (Papua, Maluku dan semacamnya).
Setiap kampung kota memiliki keberagamannya masing-masing meskipun serupa tapi tidak sama. Kekontrasan tersebut terletak pada tradisi lokal, kalangan masyarakat, tingkat kepadatan, pola ruang, multietnis dan sejarah keberdirian. Misalnya Condet dengan Kampung Pulo. Perbedaanya bisa terlihat jelas dari pola ruang.
Kawan-kawan dapat melihat sendiri bahwa Kampung Pulo yang berlokasi dekat dengan Sungai Ciliwung memiliki pola ruang yang mengikuti aliran sungainya. Dalam istilah geografi, hal tersebut disebut sebagai pola ruang garis (line). Sedangkan, Condet yang berlokasi agak jauh dari Sungai Ciliwung memiliki pola ruang yang bebas.
Selain itu, perbedaan geografis kedua wilayah juga memengaruhi tingkah laku masyarakat untuk bertahan hidup. Condet didominasi oleh pegawai, karyawan swasta sedangkan warga Kampung Pulo memilih berdagang bahkan ART. Hal tersebut berentet memengaruhi ekonomi masyarakat.
Dan... faktor-faktor tersebut juga memengaruhi aspek lainnya. Aspek lainnya tersebut juga memengaruhi aspek-aspek yang lainnya, dan seterusnya. Mereka saling memengaruhi, seperti lingkaran setan-tidak putus. Padahal kita baru saja membahas dua kampung kota dari aspek geografisnya, belum dari sudut pandang tradisi lokal dan lainnya.
If it keeping to be continue, this writing will be long and long strory. But, I am not. We can keep up this discussion later, perhaps.
2. MODAL SOSIAL
Ada berbagai alasan mengapa beberapa manusia sengaja memilih bertempat tinggal di kampung kota, sebut saja Ayah saya. Beliau memilih tetap tinggal di Condet meski ia memiliki opsi lain untuk bertempat tinggal di wilayah yang lebih layak, misalnya BSD. Saat saya bertanya kepadanya, beliau menjawab dengan panjang lebar hanya kata sederhana yang bisa saya rangkum di sini, kebersamaan.
Meskipun kebersamaan tersebut tidak terlihat jelas dengan lisan atau bahkan tulisan jurnal ilmiah. Namun, jika melihat, menghampiri dan merasakannya kita dapat langsung menyadari bahwa oh inilah kampung kota! Memang terdengar berlebihan tapi begitulah adanya. If you not believe me, you can try. Must try!
Dikarenakan dari lahir hingga saya menulis tulisan ini, saya masih menetap di Condet. Saya cukup tahu bagaimana ramahnya kampung kota. Jika Anda sudah berkenalan dengan kampung kota, Anda akan tahu sendiri bagaimana atmosfer kampung kota. Kebersamaan tersebut terlihat dari bagaiman masyarakat kampung kota memiliki tokoh yang di-tua-kan, siapa yang di-dengar-kan atau siapa yang di-tokoh-kan.
Selain itu, kebersamaan kampung kota juga dapat diketahui dari kebiasaan masyarakatnya. Mereka melakukan sesuatu berdasarkan prinsip kebersamaan. Mulai dari kerja bakti setiap Minggu, membersihkan got, memasang umbul-umbul 17 Agustus hingga pengajian ibu-ibu PKK. Kebersamaan juga terlihat dari warga kampung kota dalam memperlakukan sesuatu sebagai bagian-bersama, benda-bersama dan tanah-bersama dalam keseharian mereka.
What a warm surroundings!
3. STRATEGI ADAPTASI
Kesejukan lain dari kampung kota ialah kemampuan adaptasinya yang cair dan adaptif. Warga kampung kota cukup terbuka dengan anggota baru.
Selain itu, warga juga tidak segan-segan memberikan sambutan hangat kepada pendatang baru jika mereka mengetahui aturan main di wilayah teritorial mereka.
[SARAN]
Sebagai penutup, saya mencoba untuk menuliskan keresahan subjektif saya terhadap pelabelan sebuah kampung agar tidak selalu dipandang culun oleh beberapa manusia.
Pertama, legalitas hukum. Whoever are you, if your house does not have any legality. Please deal with it, now! Yuk, diurus. ATR/BPN sudah memiliki program untuk mengurusi sertifikat tanah secara gratis.
Why is it important? Karena kampung kota rawan dengan penggusuran. Legalitas hukum tersebut bisa menjadi senjata untuk berhadapan dengan para kriminal.
Kedua, pencerdasan SDM. Ini penting dilakukan agar tidak ada manusia pesakitan yang merusak bumi secara sadar dan sengaja-salah satunya dengan membuang sampah sembarangan.
Pencerdasan kepada IRT tentang plastik, zat kimia, aktivitas produktif atau semacamnya dengan sosialisasi sekaligus aksi nyata seraya mengundang peneliti LIPI, profesor UI, aktivis lingkungan or another figure.
Selanjutnya, pencerdasan terhadap kaum muda. Mereka yang kerap kali ‘nongkrong’ di Malam Minggu lebih baik dimanfaatkan untuk sektor kreatif atau ekonomi. Salah satunya dengan cara pelestarian budaya Jakarta: pasukan lenong (untuk kawan yang sering bercanda), kelompok musik (bagi milenial pemusik-mereka yang pandai bergitar, bersuara merdu dan muda-mudi berbakat lainnya), aktivis grafiti, dan lainnya.
Mereka dapat disempurnakan dan nantinya perangkat kampung setempat dapat menggelar pertunjukkan seni berbayar dimana para aktornya adalah mereka.
Memang terdengar sangat omong kosong. Tapi bukankah ide seperti itu? Ide akan berubah menjadi tidak bullshit lagi saat ada aksi nyata yang mengiringinya. So, when we can start to realize that ideas? The answer is NOW.
Sekarang pertanyaannya adalah mengapa pencerdasan hanya perlu dilakukan untuk IRT dan kaum milenial saja? Saya tidak mau menulis jawabannya di sini, tulisan ini sudah terlalu panjang. Biar pikiran dan otak Anda yang menjawab pertanyaan tersebut.
Ketiga, hiasan. Kerap kali beberapa oknum melakukan penggusuran dengan dalih untuk penertiban bangunan. Warga yang tidak memiliki cukup perlawanan akhirnya menjadi korban. How a cruel you are, dude! Karena saat kita menggusur sebuah kampung tidak hanya hak bertempat tinggal yang tercabut namun hak kemanusiaan lainnya dan sejarah juga musnah.
Penertiban bangunan tanpa penggusuran memang sulit karena bangunannya sudah terlanjur kumuh. Sebagai solusi, mengapa pemukiman tersebut tidak dipercantik saja? Seperti diberikan hiasan dengan cara pengaspalan jalan; pendirian sumur PAM; pembangunan RPTRA, taman, tempat bermain atau semacamnya; pemberlakukan aturan bahwa setiap kepala rumah tangga wajib memiliki tanaman lidah mertua, bunga sepatu, lavender atau tanaman lainnya yang berfaedah untuk lingkungan Jakarta.
[PENUTUP]
Sebagai anak geografi saya hanya ingin kita-Anda dan saya belajar bersama bahwa setiap tempat memiliki keunikannya sendiri sekalipun ia memiliki lokasi lintang dan bujur yang sama, they are different. Oleh karena itu, jangan pernah memukul rata suatu tempat dengan lainnya meskipun ia merupakan jenis yang sama.
Because every place is beautiful on their own way, buddy.
P.s: tulisan di atas berhasil rampung lantaran website RUJAK dan pengalaman pribadi penulis. So writer feel much sorry, if this writing too much bullshit. Pardon me.
0 komentar