Minoritas itu Tersingkirkan atau Disingkirkan?
Agustus 02, 2019
Suara derum kendaraan bermotor menemani perjalananku menuju suatu kantor di kawasan Pancoran, Jakarta. Saat jam pulang kantor seperti ini, kemacetan lalu lintas sudah menjadi santapan bagi warga lalu lintas.
Rencana yang sudah kami atur bahwa aku dan Mba Amel akan meeting pukul 20.00. Bukan hanya sekedar pekerjaan dan kunjungan kantor seperti biasanya. Bagiku kesempatan bertemu dengan Mba Amel merupakan hal yang langka bahkan hampir punah karena perihal perpindahan tempat kerjaku ke kota lain. Tapi, hal tersebut diurungkan oleh pimpinanku. Entah, aku pun tidak tahu.
Jam lima sore, aku sudah tiba di lokasi tujuan. Setelah bertanya kepada petugas keamanan yang ada di tempat parkir, aku pun menuju musala terdekat untuk menunaikan kewajiban. Alih-alih begitu, kenyataannya ialah aku salat agar kepentingan bisnisku ini dipermudah saja.
Mengejutkan.
Musala yang kutuju ternyata hanya kotak kecil dengan ukuran 3x3 meter. Sempit sekali. Hal tersebut diperparah lagi dengan barisan para lelaki yang mengantri untuk berwudu. Ada dua tempat untuk wudu, namun keduanya dikuasai oleh kaum yang sama, para lelaki.
Kesal dengan keadaan tersebut. Aku pun ikut mengantri di barisan para lelaki. No matter what people say!
Lima menit kemudian, wanita-wanita yang lain mengikuti aksiku ini. Mereka juga ikut mengantri di barisan para lelaki.
Tak banyak kata yang diucapkan, para lelaki pun menyadari hal tersebut. Tak lama setelah itu, barisanku sudah dihiasi oleh kaum hawa. Begitupun sebaliknya, di seberang sudah berbaris kaum adam. Lega, akhirnya mereka mengalah juga.
Raib. Kedamaian tersebut ternyata berlangsung sejenak saja.
Saat memasuki musala tersebut, kenampakan lima menit yang lalu terulang kembali. Di dalam musala tersebut diisi dengan proporsi gender yang timpang. Puluhan lelaki dan lima wanita, termasuk aku.
Firasat burukku muncul. Setelah ini, sudah dipastikan golongan mayoritas yang akan salat duluan. Di mana pada kondisi ini ialah kaum lelaki.
Masih kesal dengan fenomena barisan wudu tadi, aku pun masih kukuh untuk salat bersama mereka dengan tetap duduk menunggu magrib.
Azan berkumandang.
Sial. Musala tersebut ternyata tidak dapat menampung jumlah kami semua. Ada yang harus menjadi korban. Aku masih kukuh untuk salat bersama mereka.
Dua deret sudah diisi oleh kamu lelaki. Sedangkan, wanita-wanita ini? Terusir.
'Mba, mohon maaf yaa keluar sebentar. Sepertinya tempatnya tidak muat.' kata seorang pria.
Emosiku pun merekah.
'Dasar patriarki! Kenapa tidak masnya saja yang keluar? Kenapa kalian yang salat duluan? Apa karena jumlah kalian banyak?'
'Seharusnya kalian mengalah. Supaya adil, saf pertama ialah kaum lelaki dan saf kedua ialah wanita. Kenapa kedua saf tersebut harus lelaki semua?'
'Konon katanya, tegakkan keadilan. Hal kecil seperti ini saja diabaikan. Golongan minoritas disingkirkan demi kepentingan kalian, wahai golongan mayoritas.'
'Persetan dengan omong kosong tersebut!'
Sayangnya perkataan tersebut hanya berkoar dalam hatiku saja. Aku tidak berani mengutuk dan berkata senonoh kepada seseorang di depan umum.
Terlebih lagi, saat ini aku sedang membawa 'nama' kantorku dan juga adanya kepentingan bisnis di tempat tersebut. Walhasil, aku menimpali ucapan pria tersebut dengan senyuman pahit dilanjutkan dengan langkah kaki keluar dari musala tersebut.
Waktu tidak berhenti dan sore berganti peran dengan malam. Kepentingan bisnis kantorku pun tetap berjalan.
Aku tetap meeting dengan Mba Amel. Pertemuan kami pun ditutup dengan obrolan hangat terkait ormas agama yang masa perpanjangannya sedang bermasalah.
Momen yang sudah jarang sekali dilakukan oleh kami berdua, membicarakan persospolan negeri ini. Mulai dari isu kemanusiaan sampai kepentingan para elit politik. Topik obrolan yang cukup berat namun mengasyikkan.
What a great day!
Tapi, pengecualian terhadap insiden sore tadi. Memang nasib. Apakah takdir minoritas selalu begini?
0 komentar