East Kalimantan is New Capital City of Indonesia
Agustus 13, 2019
Tulisan ini
terinspirasi dari sebuah berita yang mengatakan bahwa Lokasi untuk ibu kota baru semakin
mengerucut. Sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut ibu kota baru akan
dipindah ke pulau Kalimantan. Lalu, dalam rapat kabinet di Istana pada Selasa
(6/8/2019) pagi ini, diputuskan bahwa ada tiga provinsi di pulau Kalimantan
yang layak menjadi lokasi ibu kota baru. "Kami paparkan tiga kandidat,
seperti yang disampaikan Pak Presiden bahwa pemindahan ke Kalimantan. Apakah
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, atau Kalimantan Timur," papar
Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional sekaligus Kepala Bappenas Bambang
Brodjonegoro, usai rapat.
Berdasarkan
berita tesebut, saya menegaskan bahwa tulisan ini akan mengerucutkan
perbandingan kelayakan lokasi ibu kota terhadap tiga provinsi saja yaitu Kalimantan
Timur, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
Sebagai mahasiswi
geografi yang memiliki latar belakang disiplin ilmu cukup berkaitan dengan
masalah tersebut, saya mencoba untuk beropini tentang lokasi yang tepat bagi
ibu kota yang baru nantinya. Bermodalkan ilmu pengantar geografi dan geografi
fisik serta minat terhadap tata ruang, saya mencoba beropini berdasarkan
data dari beberapa instansi.
Tulisan ini juga
memicu saya bahwa apakah opini saya
benar? Dikarenakan pengumuman resmi perihal lokasi ibu kota yang baru akan dibeberkan
15 Agustus nanti.
Layaknya
taruhan, saya memasang nama Kalimantan
Timur untuk lokasi ibu kota yang baru. Kalau pun ternyata bahwa taruhan
saya: salah, tidak masalah. Hal tersebut bisa menjadi intropeksi bagi saya
untuk belajar lebih lanjut terkait tata ruang.
My thought that East Kalimantan is New
Capital City of Indonesia. Mengapa?
Karena berdasarkan legalitas hukum, kondisi fisik dan kualitas SDA yang paling
aman ialah Kalimantan Timur.
Here are the explanations
1. Legalitas Hukum
Dalam membangun
sebuah kota, salah satu instrumen yang paling penting ialah rencana tata ruang.
Dan jantung dari rencana tata ruang ialah sebuah peta. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa tanpa adanya peta
yang benar, pembangunan sebuah kota tidak bisa dilakukan.
Lantas, seberapa
penting peta tersebut?
Misalnya,
pemerintah ingin membangun istana negara di ibu kota baru. Pemerintah
merencanakan hal tersebut tanpa menggunakan peta. Pemerintah dengan seenaknya
saja meletakkan istana negara tanpa melihat kondisi tanah di wilayah tersebut.
Bencana pasti akan terjadi. Apabila pada kenyataannya pemerintah justru membangun
istana negara di tanah alluvial (tanah liat). Tidak perlu gempa, saat hujan pun
bangunan istana negara tersebut sudah jatuh karena jenis tanahnya tidak kuat.
Sebaliknya, jika
pemerintah membangun istana negara menggunakan peta. Misalnya, peta geologi.
Bagi kawan-kawan yang belum mengetahui apa itu peta geologi, peta tersebut
menggambarkan jenis tanah sebuah wilayah. Oleh karena itu, kita dapat
mengetahui jenis tanah seperti apa yang cocok untuk membangun sebuah bandara, istana
negara, pemukiman atau lahan pertanian.
Jenis tanah yang digunakan untuk
lahan pertanian padi tentu berbeda dengan jenis tanah untuk lokasi bandara. Jenis
tanah untuk lahan pertanian harus memiliki cukup sumber air, misalnya jenis
tanah aluvial. Sedangkan, jenis tanah untuk membangun bandara harus memiliki
karakteristik yang kuat, tahan terhadap getaran, misalnya tanah vulkanik. Hal
tersebut juga berlaku dalam membangun istana negara.
Dari penjelasan
di atas, saya berharap bahwa kawan-kawan sudah memahami tentang pentingnya peta
dalam pembangunan sebuah kota dan rencana tata ruang.
Selanjutnya,
saya ingin memberi tahu bahwa lembaga pemerintah yang bertanggung jawab dalam
hal per-peta-an Indonesia ialah Badan Informasi Geospasial (BIG) – dibaca be-i-ge.
Nah, BIG
tersebut sudah membuat skala terkait kesiapan rencana tata ruang seluruh
provinsi di Indonesia. Kawan-kawan yang ingin mengetahui hasilnya dapat
mengunjungi: RTRW dalam Unit Provinsi
Hasil Kesiapan RTRW Kalimantan Tengah, Selatan dan Timur |
Dalam gambar tersebut terlihat bahwa skala kesiapan RTRW Provinsi memiliki rentang nol sampai sembilan dengan skala tertinggi ialah sembilan yang menyatakan bahwa RTRW tersebut sudah mencapai tahap legalitas hukum: peta tersebut sudah menjadi Undang-Undang.
Sedangkan Kalimantan Selatan baru mencapai tahap verifikasi data lapangan. Begitupun, Kalimantan Tengah. Ia baru mencapai level enam: peta rencananya sudah rampung.
Peta yang sudah masuk ke dalam Perda disebut RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah). Berkaitan dengan program pembangunan, RTRW ini dianalogikan sebagai contekan pemerintah dalam membangun sebuah kota.
Oleh karena itu, saya bertaruh bahwa dapat dipastikan pemerintah pusat memilih Kalimantan Timur sebagai lokasi ibu kota yang baru karena RTRW Provinsi tersebut sudah selesai. Pemerintah tidak perlu kalut membuat RTRW, wong sudah ada contekannya toh.
Namun, tidak mustahil bagi pemerintah memilih Kalimantan Selatan atau Kalimantan Tengah. Jika pemerintah bertingkah laku seperi itu, menurut saya hal tersebut merupakan langkah bunuh diri pemerintah Indonesia. Mengapa?
Membuat peta hingga menjadi perda atau RTRW merupakan proses yang sangat melelahkan. Proses tersebut memerlukan banyak manusia, tenaga, pikiran, duit, alat dan konsistensi.
Mulai dari pengambilan data lapangan, memasukkan data tersebut ke komputer, mengolah, membuat peta kemudian verifikasi data, mengoreksi kembali kesesuaian peta dengan data asli di lapangan, dan proses lainnya hingga menjadi RTRW. Setiap tahapan tersebut pun memiliki kendalanya masing-masing.
Misalnya, pengambilan data lapangan. Permasalahannya cukup banyak mulai dari cakupan wilayah provinsi yang sangat luas; medan alam yang cukup terjal: hutan belantara, pegunungan terjal, dan lain-lain; belum lagi, kondisi cuaca dan iklim yang tidak bersahabat: cuaca berawan dapat menghalangi citra satelit dalam pengambilan foto udara; hujan badai, angin topan, banjir hingga kebakaran hutan dapat menganggu pengambilan data secara manual.
Berdasarkan keruwetan tersebut, pembuatan peta menjadi sebuah perda atau RTRW membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan, pemerintah sudah menargetkan bahwa pemindahan ibu kota rampung di tahun 2024 sehingga untuk mempercepatnya, pemerintah seharusnya mengambil opsi: Kalimantan Timur dikarenakan RTRW provinsi tersebut sudah beres dan sudah memiliki legalitas hukum yaitu dalam bentuk Perda.
2. Kondisi Fisik: Kerentanan terhadap Bencana
Setelah berkutat dengan legalitas hukum, salah satu aspek yang fardu ain diperhatikan oleh pemerintah dalam pemindahan ibu kota ialah aspek geologis. Dikarenakan definisi geologis terlalu umum, saya mengerucutkan aspek geologis menjadi kerentanan terhadap bencana.
Berdasarkan data dari BNPB bahwa hingga per tanggal 12 Agustus 2019, bencana yang terjadi di Kalimantan Timur lebih sedikit dibandingkan Kalimantan Tengah atau Kaimantan Selatan. If you do not trust me, you can access this link: Data Informasi Bencana Indonesia BNPB to know that truth.
Sumber: http://dibi.bnpb.go.id
|
Dari laman tersebut, kawan-kawan dapat mengetahui bahwa Kalimantan Timur lebih sedikit mengalam bencana dibandingkan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah. Hal tersebut menunjukkan bahwa Kalimantan Timur memiliki tingkat kerentanan bencana yang lebih kecil dari Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah – sehingga Kalimantan Timur lebih aman untuk dijadikan lokasi ibu kota yang baru.
Agar lebih memantapkan opini saya
tersebut, saya ingin berbagi kepada kawan-kawan terkait Jumlah Kejadian Bencana
Tahun 2018 melalui peta berikut.
Berdasarkan peta
tersebut, diantara Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Tengah
yang memiliki jumlah kejadian bencana paling sedikit ialah Kalimantan Timur.
Jika melakukan analisis yang cukup prematur, hal tersebut menandakan bahwa Kalimantan Timur merupakan lokasi yang (semoga)
aman untuk ibu kota yang baru dibandingkan Kalimantan Selatan dan
Kalimantan Tengah.
![]() |
3. Kualitas SDA
Secara hukum dan fisik, Kalimantan
Timur merupakan sasaran yang tepat untuk lokasi ibu kota yang baru. Namun, hal
tersebut akan musnah jika secara SDA Kalimantan Timur tidak memenuhi
persyaratan.
Mengapa? Dikarenakan SDA merupakan
aspek yang paling krusial dalam eksistensi hidup manusia, misalnya kualitas
air, udara dan jenis tanah.
Bagaimana keadaan lingkungan hidup di Kalimantan
Timur? Apakah kualitas SDA-nya lebih baik dibandingkan
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah? Bagiamana kualitas air dan udara di
Kalimantan Timur? Apakah sudah memenuhi standar Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan (KLHK) sebagai kota yang ramah terhadap manusia?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut,
saya berpegang teguh kepada data KLHK perihal kualitas Lingkungan Hidup di
Kalimantan. Kawan-kawan dapat mengaksesnya melalui tautan berikut: Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Kalimantan Tahun 2017
Dari peta di
atas dapat diketahui bahwa Kalimantan Timur memiliki Indeks Kualitas Lingkungan
Hidup (IKLH) tertinggi yaitu 76,01%. Angka tersebut diperoleh dari IKA (Indeks
Kualitas Air) sebesar 59,60%, IKU (Indeks Kualitas Udara) sebesar 93,27% serta
ITH (Indeks Tutupan Hutan) sebesar 75,38%.
Berdasarkan
persentasi tersebut, Kalimantan Timur memimpin di tiga kategori sekaligus yaitu
kualitas air, udara dan tutupan hutan, di tahun 2016.
Anyway, di sini yang dimaksud dengan indeks
tutupan hutan ialah memperlihatkan kondisi hutan dengan mempertimbangkan luas hutan terhadap luas
wilayah.
Untuk menguatkan opini saya tersebut, mari menganalisis IKLH (Indeks Kualitas
Lingkungan Hidup) secara nasional. Bersumber dari data Kementerian Lingkungan
Hidup dan Kehutanan (KLHK), pada Tahun
2018 instansi tersebut menerbitkan Indeks Kualitas Lingkungan Hidup Indonesia Tahun 2017.
And here this result.
Berdasarkan
tabel tesebut, Kalimantan Timur memiliki IKLH yang lebih memadai dibandingkan
Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah – dengan nilai 75,65%. Angka tersebut
tidak semerta-merta hanya omong kosong belaka – IKLH tersebut diperoleh dari
tiga variabel, yaitu Indeks Kualitas Air, Udara, dan Tutupan Lahan (IKA, IKU,
IKTL).
Secara gamblang,
dapat disimpulkan bahwa berdasarkan data-data di atas – secara SDA, Kalimantan Timur lebih layak untuk dijadikan ibu kota
ketimbang Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah.
[AKHIR]
Kesimpulannya
ialah secara hukum, fisik dan lingkungan, Kalimantan Timur sudah auto-winner sebagai lokasi ibu kota yang
baru. Namun, dalam tulisan ini ada satu parameter yang terlupakan. Sedari awal
tulisan ini hanya membahas mengenai aspek fisik saja, tapi tidak membahas dari
sisi manusia-nya.
Apakah memang dari segi sosial, budaya dan
kependudukan Kalimantan Timur siap menjadi lokasi ibu kota yang baru? Bagaimana
lokasi ibu kota dari sudut pandang sosial? Bagaimana keadaan sosial
kependudukan di Kalimantan Timur? Apakah juga memadai? Bagaimana pengkajian
pemindahan ibu kota dari aspek manusia-nya?
I do not want to answer them. I let you to
find the answers.
Why? Because every case that relate to human
life can not solving just by science theory or analyze, its need “feeling”. It is
more complicated than anything because its contain human life, as well as their
rights, history and culture.
And what do you think? Is displacement of
our capital city can interfere our family in Kalimantan or vice versa?
0 komentar